Jumat, 10 Agustus 2012

nasib manula

study case 1:

Seorang kakek sekitar umur 70-an, memandang sendu ke arah jalanan yang macet di depannya. Badannya kurus kering, tinggal tulang. Kulitnya hitam keling. Tak jauh dari tempatnya duduk, ada sebuah gerobak besar berisi kardus-kardus. Gerobaknya lumayan berat kalau didorong oleh orang setua dan sekurus itu. Dengan hanya menggunakan kaos oblong dan sarung, sendal jepit yang sudah usang, dan peci bututnya, dia memandang (atau menerawang?) ke arah jalanan.


study case 2:

Seorang nenek, sekitar 60-an, mengorek-orek tong sampah di sebuah stasiun. Tangannya yang satu memegang karung beras, penuh dengan botol air mineral kemasan kosong. Raut wajahnya serius, mencari botol, dalam tumpukan sampah. Pakaiannya hanyalah daster kumal. Rambutnya (yang kebanyakan adalah uban) diikat sembarang di kepalanya. Ada sekitar belasan tong sampah di stasiun itu, jadi mungkin ada banyak botol bekas yang terbuang, sebagai tambahan yang ada di karung, pikirnya. Si nenek melakukan hal ini setiap hari, berharap beberapa lembar uang dari sampah di stasiun.


study case 3:

Seorang satpam tua berusaha mengatur parkir mobil-mobil mewah di sebuah gereja. Suaranya sudah hampir serak. Begitu banyak mobil yang diparkir, begitu sedikitnya tenaga. Umurnya sekitar 70 tahunan. "Seragam' satpamnya hanya kaos 'polo' dan celana panjang butut. Dia adalah pensiunan TNI, uang pensiun yang tidak mencukupi biaya sehari2, membuatnya terpaksa bekerja kembali. "Daripada bengong di rumah" jawabnya kalau ditanya kenapa dia masih saja bekerja.

--

Ketiga study case di atas adalah contoh real dari nasib manula di Indonesia. Sering sekali saya melihat para manula ini masih saja 'sibuk' bekerja untuk memenuhi kebutuhan hidup atau justru karena sekedar untuk benar-benar 'hidup'. Saya sering melihat juga para manula ini seolah tidak mendapatkan pekerjaan yang layak. Pekerjaan mereka disamping gajinya kecil, juga benar-benar harus 'membanting tulang'. Padahal seperti kita ketahui, tulang mereka sudah tidak kuat menopang beban. Organ-organ tubuh mereka sudah tidak sanggup lagi bekerja.

Saya bertanya lagi pada diri sendiri. Seperti mereka kah saya ketika umur saya sudah tua? Harus terus bekerja? Dengan gaji yang tidak seberapa? Harus masih menanggung beban hidup besar di usia tua?

Lalu saya memandang anak saya yang masih 4 tahunan. Apakah yang akan dia lakukan ketika umur ibunya sudah renta? Menyuruh ibunya  terus bekerja? Atau menghiburnya dengan memberi saya cucu yang banyak? Apa yang akan terjadi ketika anak saya tua? Apakah dia harus berada pada kondisi study case di atas?

Para manula itu sudah tidak sanggup kerja, mikir, jalan-jalan, begadang, kadang emosi mereka naik turun, seharusnya tidak usah bekerja lagi. Seharusnya hanya menikmati hasil saja. Keuangan cukup, hati senang, hidupnya sehat wal afiat, sampai tutup usia. Saya harap juga pemerintah memelihara kaum manula. Atau beberapa yayasan kemanusiaan juga turut peduli nasib manula ini. Mereka adalah cerminan masa depan kita semua. Orang Indonesia makin lama akan makin terlalu banyak, saya khawatir nasib manula tidak akan pernah tersentuh oleh kepedulian kita, kalau kita tidak mulai dari sekarang.

Cobalah untuk membantu para manula ini. Mereka pasti senang. Rasa penuh senang dan bahagia dari wajah mereka akan menjadi wajah senang kita juga.


1 komentar:

  1. Gambaran kehidupan nyata di negeri kita ini, dan sangat menyentuh hati. Bagi yang punya. Seperti saya, mereka sangat mengharap untuk dapat merdeka di negeri tercinta ini

    BalasHapus