Rabu, 29 Agustus 2012

lagi kaya nih!

hore lebaran!

hore makan ketupat!

hore banyak kue!

hore banyak dapat angpao!!!

hore bisa beli baju baruuuuuu!

dan hore hore yang lainnya.
untunglah lebaran cuma sekali dalam setahun. kalau lebaran terjadi tiap bulan, bisa bokek kantong.

(tiba-tiba) BANYAK UANG

"Itung cepetan dapetnye berape!"

"Kan tadi udah diitung semuaaaa... Yang mana lagi?"

"Yang tadi dikasih! Tuh ada di kantong sebelah kiri."

"Oh iyaaa! Nih, buka dulu... Lima ribu.. dua puluh... tiga puluh ribu! Punya kamu berapa?"

"Dapet lima puluh dong! Nih lembaran, bukan dari gocengan.."

itu lah percakapan tetangga saya di kampung. Suara anak-anak dan ibu-ibu berbaur. Semuanya ngomongin uang yang mereka dapat dari saudara. Saya tadinya mau kasih ke anak tetangga, jadi ciut sendiri karena besaran angkanya kecil..

Dalam dua hari setelah lebaran, uang angpao (uang yang dikasih untuk lebaran, biasanya anak-anak atau orang yang belum bekerja) bisa membengkak di kantong. Uang recehan 2000-an, 5000-an dan 10.000-an cepat habisnya di Bank2, karena banyaknya orang yang yang ingin menukar ke recehan. Budaya angpao ini sudah turun temurun, dan biasanya untuk anak-anak adalah 'kewajiban' buat minta angpao.

Anak saya sendiri, banyak mendapat angpao. Dia saya kasih dompet, supaya uangnya ditaruh disitu. Kemana-mana dia membawa dompet itu. Setelah uangnya banyak dia memaksa saya untuk makan bakso bersama, pakai uang dia. Ada-ada saja.

Ketika anak kecil mendapat uang angpao, pikirannya adalah langsung menghabiskannya. Wajar, pikiran orang dewasa juga seperti itu.

Padahal seperti yang pernah saya katakan sebelumnya, uang yang datang begitu cepat, akan berlalu dengan lebih cepat dari kantong kita. Karena memang begitulah hukum uang. Uang sangat rapuh karena hanya berupa lembaran kertas. Lebih tidak ada gunanya lagi, kalau kita mendapatnya secara cuma-cuma dengan tidak bekerja keras.

KEMANA LARINYA?

Angpao tetangga saya yang banyak itu, habis dalam sekejap. Saya tahu karena ketika seminggu kemudian, ketika ibu saya memberi snack kepada tetangga saya, salah satu anaknya berteriak kencang,"Horeeee.... akhirnya ada makanaaaaaaaaannnn!!!"

Kalau angpaonya tidak lari dalam sekejap, kan masih bisa dibelikan snack. Ternyata memang ludes sekejap.

Berbeda sekali dengan angpao anak saya. Angpaonya utuh. Anak saya pun sudah lupa dengan angpaonya. Dompet angpaonya tersimpan rapi di lemari, tidak tersentuh. Saya juga tidak ingin memakainya, itu uang anak.

Sekarang hitung deh, angpao kita lari kemana uangnya. Beli ini itu? Habisin di pasar atau mall? Investasi? Diputar ulang untuk dikasih lagi ke saudara yang lebih memerlukan? Atau dengan niat mulia, menyedekahkannya?

Rugi kalau habis sia-sia. Rugi juga kalau tidak dicatat pengeluarannya. Jarang-jarang dapat duit gratis toh hilang juga tidak berbekas.

Sebenarnya, mental manusia ya begitu.. dapat banyak uang langsung lupa diri.. manusiawi.. tapi jangan terlalu mengikuti nafsu. Sayang! Mending investasikan. Entah itu dalam bentuk reksadana, emas batangan, perhiasan atau investasi akhirat, misalnya sedekah atau zakat.

Tapi kalau sudah habis gimana? yaa... bengong deh... hehehe



Kamis, 16 Agustus 2012

udah gede kok diatur-atur

judul diatas adalah kalimat yang dilontarkan adik saya ketika saya dan ibu saya tidak setuju atas hal yang dia perbuat.

kalimat seperti di atas juga sering diucapkan oleh beberapa anak remaja yang galau.
saya juga dulu sering mengucapkan kalimat tersebut, apalagi kalau ortu atau ada orang yang menasihati tentang sesuatu.

namanya remaja, ya kadang galau. kadang gak mau diatur. wajarlah, saya juga ngalamin begitu.

masalahnya, kalimat tersebut justru tidak akan terlihat bagus dan benar, kalau kita pakai ketika kita sudah bekerja, tepatnya ketika baru ngerasain 1 tahun bekerja (fresh graduate, istilahnya).

pada saat-saat begini, rasanya megang uang gajian tu serasa ada di langit ketujuh. rasanya ingin langsung dihabiskan, beli ini, belanja anu, beli ini itu, blablabla.. lupa deh sama ongkos. tau-tau minta lagi ke ortu. yah, gak bisa doooong..

usia lulus sekolah SMK itu sekitar 17 sampai 20 tahun. Jadi wajar kalau masih galau soal keuangan, tapi sebaiknya kita mencontoh kepada yang sudah bekerja di atas 5 tahunan. lihat uang mereka 'lari'nya kemana saja dan untuk apa. buat perincian yang tetap. kalau mau kasih ke ortu, bilang di muka mau kasih berapa. untuk ongkos dan makan, hitung, di tambah dengan spare atau lebihan agar tidak tekor, kalau ada hutang dengan teman atau warteg, segera lunasi, dll. jangan keburu nafsu mau beli tas baru, sepatu baru, baju baru, dll.. lupa deh sama ongkos dan kewajiban.

menurut saya, makin kita dewasa (alias tua) kita harus makin mau diatur. di kantor kita mematuhi sistemnya kantor. dirumah kita harus mematuhi sistem rumah. di jalan, kita harus patuhi aturan lalu lintas. dalam hidup kita harus tunduk pada aturan agama. dsb... segala sesuatu harus berjalan dengan aturan. nantinya kita akan terbiasa. dan jangan lupa juga harus disiplin. awalnya memang agak susah, tapi kalau sudah jadi kebiasaan, akan jadi mudah.

jangan lupa buat perhitungan sistematis tiap bulan biar tidak kebablasan.

Jumat, 10 Agustus 2012

nasib manula

study case 1:

Seorang kakek sekitar umur 70-an, memandang sendu ke arah jalanan yang macet di depannya. Badannya kurus kering, tinggal tulang. Kulitnya hitam keling. Tak jauh dari tempatnya duduk, ada sebuah gerobak besar berisi kardus-kardus. Gerobaknya lumayan berat kalau didorong oleh orang setua dan sekurus itu. Dengan hanya menggunakan kaos oblong dan sarung, sendal jepit yang sudah usang, dan peci bututnya, dia memandang (atau menerawang?) ke arah jalanan.


study case 2:

Seorang nenek, sekitar 60-an, mengorek-orek tong sampah di sebuah stasiun. Tangannya yang satu memegang karung beras, penuh dengan botol air mineral kemasan kosong. Raut wajahnya serius, mencari botol, dalam tumpukan sampah. Pakaiannya hanyalah daster kumal. Rambutnya (yang kebanyakan adalah uban) diikat sembarang di kepalanya. Ada sekitar belasan tong sampah di stasiun itu, jadi mungkin ada banyak botol bekas yang terbuang, sebagai tambahan yang ada di karung, pikirnya. Si nenek melakukan hal ini setiap hari, berharap beberapa lembar uang dari sampah di stasiun.


study case 3:

Seorang satpam tua berusaha mengatur parkir mobil-mobil mewah di sebuah gereja. Suaranya sudah hampir serak. Begitu banyak mobil yang diparkir, begitu sedikitnya tenaga. Umurnya sekitar 70 tahunan. "Seragam' satpamnya hanya kaos 'polo' dan celana panjang butut. Dia adalah pensiunan TNI, uang pensiun yang tidak mencukupi biaya sehari2, membuatnya terpaksa bekerja kembali. "Daripada bengong di rumah" jawabnya kalau ditanya kenapa dia masih saja bekerja.

--

Ketiga study case di atas adalah contoh real dari nasib manula di Indonesia. Sering sekali saya melihat para manula ini masih saja 'sibuk' bekerja untuk memenuhi kebutuhan hidup atau justru karena sekedar untuk benar-benar 'hidup'. Saya sering melihat juga para manula ini seolah tidak mendapatkan pekerjaan yang layak. Pekerjaan mereka disamping gajinya kecil, juga benar-benar harus 'membanting tulang'. Padahal seperti kita ketahui, tulang mereka sudah tidak kuat menopang beban. Organ-organ tubuh mereka sudah tidak sanggup lagi bekerja.

Saya bertanya lagi pada diri sendiri. Seperti mereka kah saya ketika umur saya sudah tua? Harus terus bekerja? Dengan gaji yang tidak seberapa? Harus masih menanggung beban hidup besar di usia tua?

Lalu saya memandang anak saya yang masih 4 tahunan. Apakah yang akan dia lakukan ketika umur ibunya sudah renta? Menyuruh ibunya  terus bekerja? Atau menghiburnya dengan memberi saya cucu yang banyak? Apa yang akan terjadi ketika anak saya tua? Apakah dia harus berada pada kondisi study case di atas?

Para manula itu sudah tidak sanggup kerja, mikir, jalan-jalan, begadang, kadang emosi mereka naik turun, seharusnya tidak usah bekerja lagi. Seharusnya hanya menikmati hasil saja. Keuangan cukup, hati senang, hidupnya sehat wal afiat, sampai tutup usia. Saya harap juga pemerintah memelihara kaum manula. Atau beberapa yayasan kemanusiaan juga turut peduli nasib manula ini. Mereka adalah cerminan masa depan kita semua. Orang Indonesia makin lama akan makin terlalu banyak, saya khawatir nasib manula tidak akan pernah tersentuh oleh kepedulian kita, kalau kita tidak mulai dari sekarang.

Cobalah untuk membantu para manula ini. Mereka pasti senang. Rasa penuh senang dan bahagia dari wajah mereka akan menjadi wajah senang kita juga.